PROPOSAL
HUBUNGAN KEPATUHAN PASIEN YANG TERPASANG INFUS
DENGAN KEJADIAN PLEBITIS DI RUANG TERATAI DAN
BOGENVILLE RSUD Dr. SOEGIRI LAMONGAN
OLEH :
ANDHI AHMAD YUNUS
NIM. 08.02.01.0399
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
LAMONGAN
2012
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumah
sakit merupakan suatu tempat dimana orang yang sakit dirawat dan ditempatkan
dalam ruangan yang berdekatan atau antara satu tempat tidur dengan tempat tidur
lainnya. Di tempat ini pasien mendapatkan terapi dan perawatan untuk dapat
sembuh, dimana enam puluh persen pasien yang dirawat di Rumah Sakit menggunakan
infus. Penggunaan infus terjadi disemua lingkungan keperawatan kesehatan
seperti perawatan akut, perawatan emergensi, perawatan ambulatory dan perawatan
kesehatan di rumah, (Scahffer, At.All, 2006). Infus atau terapi intravena merupakan salah satu cara atau bagian dari pengobatan untuk
memasukkan obat atau vitamin kedalam tubuh pasien (Darmawan, 2008).
Terapi intra vena digunakan untuk
mengobati berbagai kondisi penderita disemua lingkungan perawatan di rumah
sakit dan merupakan salah satu terapi utama. Sistem terapi ini berefek
langsung, lebih cepat, lebih efektif, dapat dilakukan secara kontinu dan
penderitapun merasa lebih nyaman jika dibandingkan dengan cara yang lainnya. Tetapi karena
terapi ini diberikan secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama
tentunya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi dari pemasangan
infus, salah satunya adalah plebitis. Plebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik dari
iritasi kimia maupun mekanik yang sering disebabkan oleh komplikasi dari terapi
intravena. Plebitis dikarakteristikkan dengan adanya dua atau lebih tanda
nyeri, kemerahan, bengkak, indurasi, dan teraba mengeras di bagian vena yang
terpasang kateter intravena, (Darmawan, 2008).
Secara
sederhana plebitis berarti peradangan vena. Plebitis berat hampir selalu
diikuti bekuan darah atau trombus pada vena yang sakit. Plebitis dapat
menyebabkan thrombus yang selanjutnya menjadi tromboplebitis, perjalanan
penyakit ini biasanya jinak, tapi walaupun demikian jika thrombus terlepas
kemudian diangkut dalam aliran darah dan masuk kejantung maka dapat menimbulkan
gumpalan darah seperti katup bola yang bisa menyumbat atrioventrikular secara
mendadak dan menimbulkan kematian, (Sylvia, 2005).
Jumlah
kejadian plebitis menurut distribusi penyakit sistem sirkulasi darah pasien rawat
inap, Indonesia Tahun 2010 berjumlah 744 orang (17,11%), (Depkes, RI,
2008). Angka kejadian plebitis di RSU
Mokopido Tolitoli pada tahun 2006 mencapai 42,4%, (Fitria, 2007). Penelitian
lain yang dilakukan di RS DR. Sarjito Yogyakarta ditemukan 27,19% kasus
plebitis pasca pemasangan infus (Baticola, 2002). Penelitian Widianto (2002)
menemukan kasus plebitis sebanyak 18,8% di RSUD Purwokerto. Dan di instalasi
rawat inap RSUD Dr. Soeradji Tirtonegoro klaten tahun 2002 diemukan kejadian
plebitis sebanyak 26,5% kasus, (Saryati, 2002).
Penulis
mendapatkan data dari rekam medik bahwa angka kejadian plebitis secara
umum pada pasien yang mendapatkan terapi intravena di ruang teratai dan
bogenville RSUD Dr. Soegiri Lamongan pada bulan November 2011. Dari
keseluruhan pasien yang dilakukan pemasangan infus berjumlah 48 orang, 5 orang (10%) diantaranya mengalami
plebitis. Dari
data tersebut menunjukkan bahwa masih di jumpai pasien setelah dilakukan
pemasangan infus terjadi plebitis. Hal ini menunjukkan jumlah presentase pasien yang mengalami
infeksi lokal yakni plebitis masih cukup besar, oleh karena masih di atas
standart yang direkomendasikan oleh INS (Intravenous Nurses Society) yaitu 5%.
Banyak
faktor telah dianggap terlibat dalam patogenesis plebitis, antara lain: faktor-faktor
kimia seperti obat atau cairan yang iritan, Obat suntik yang bisa menyebabkan
peradangan vena yang hebat, antara lain kalium klorida, vancomycin, amphotrecin
B, cephalosporins, diazepam, midazolam dan banyak obat khemoterapi. Larutan
infus dengan osmolaritas > 900 mOsm/L harus diberikan melalui vena sentral.
Faktor mekanis seperti bahan, ukuran kateter, lokasi dan lama kanulasi serta
agen infeksius. Kanul yang berukuran besar jika digunakan pada vena yang
berlumen kecil dapat mengiritasi bagian intima dari vena, disamping itu
fixasi yang kurang tepat dapat
menyebabkan inflamasi atau plebitis. Faktor pasien yang dapat mempengaruhi
angka plebitis mencakup,
usia, jenis kelamin dan kondisi dasar (yakni. diabetes melitus, infeksi, luka
bakar). Suatu penyebab yang sering luput perhatian adalah adanya mikropartikel
dalam larutan infus dan ini bisa dieliminasi dengan penggunaan filter.
(Darmawan,2008).
Kepatuhan Pasien saat terpasang infus juga sangat berpengaruh dengan
tingkat kejadian phlebitis misalnya pasien sering bergerak pada area yang terpasang infus, pasien
lupa mematikan infus pada saat ke kamar mandi. Apabila pasien sering bergerak selama terpasang
infus akan mengakibatkan plebitis seperti pembengkakan,
kemerahan, nyeri disepanjang vena. Hal ini sangat merugikan bagi pasien karena
infus yang seharusnya dilepas setelah 72 jam kini harus dilepas sebelum
waktunya. Selain itu juga akan menambah biaya perawatan. (Darmawan, 2008).
Faktor yang dapat mendukung
sikap patuh pasien, diantaranya: Pendidikan, pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan sepanjang pendidikan tersebut
merupakan pendidikan yang aktif, seperti penggunaan buku dan lain-lain. Akomodasi Suatu usaha harus dilakukan untuk
memahami ciri kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Pasien yang
lebih mandiri, harus dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan sementara
pasien yang tingkat ansietasnya tinggi harus diturunkan terlebih dahulu.
Tingkat ansietas yang terlalu tinggi atau rendah, akan membuat kepatuhan pasien
berkurang. Modifikasi faktor
lingkungan dan social, membangun
dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman sangat penting, kelompok
pendukung dapat dibentuk untuk membantu memahami kepatuhan terhadap program
pengobatan, seperti pengurangan berat badan dan lainnya. Perubahan Model Terapi, program
pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin dan pasien terlibat aktif dalam
pembuatan program tersebut. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien.
adalah suatu yang penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah
memperoleh informasi diagnosis.
Infeksi
yang terkait dengan pemberian infus dapat dikurangi dengan empat intervensi
yaitu perawat melakukan teknik cuci tangan yang aktif untuk menghilangkan
organisme gram negatif sebelum mengenakan sarung tangan saat melakukan prosedur
pungsi vena, mengganti larutan intravena sekurang-kurangnya setiap 24 jam,
mengganti semua kateter vena perifer sekurang-kurangnya 72
jam, selain itu perawat juga harus menjelaskan
kepada pasien agar tidak banyak bergerak pada area yang terpasang infus, mematikan infus saat ke kamar mandi (Potter & Perry, 2005).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik melakukan
penelitian tentang “Apakah ada hubungan
kepatuhan pasien yang terpasang infus dengan kejadian plebitis di ruang Teratai
dan Bogenville RSUD Dr.
Soegiri Lamongan?”.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Mengetahui hubungan kepatuhan pasien yang
terpasang infus dengan kejadian plebitis
di RSUD Dr. Soegiri Lamongan.
1.3.2
Tujuan Khusus
1)
Mengidentifikasi
kepatuhan pada pasien yang terpasang infus di teratai dan bougenville RSUD Dr. Soegiri Lamongan.
2)
Mengidentifikasi
kejadian plebitis
pada pasien yang terpasang infus di ruang teratai dan bougenville RSUD Dr. Soegiri Lamongan.
3)
Menganalisis hubungan kepatuhan pasien yang
terpasang infus dengan kejadian plebitis
di ruang teratai dan bouenville RSUD Dr. Soegiri Lamongan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Teoritis
Sebagai pengalaman dalam melakukan
penelitian dan dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah
dengan keadaan yang ada di masyarakat dan dapat menambah ilmu pengetahuan
kesehatan khususnya ilmu keperawatan.
1.4.2
Praktis
1)
Bagi
peneliti
Menambah ilmu pengetahuan serta menjadi bahan penerapan ilmu dan
informasi yang telah didapatkan peneliti di bangku perkuliahan.
2)
Bagi
tempat penelitian
Sebagai masukan kepada
petugas kesehatan bahwa
pentingnya pemberian heath education pada pasien
yang terpasang infus.
3)
Bagi
Responden
Sebagai
masukan kepada pasien bahwa pentingnya kepatuhan saat terpasang infus.
4)
Bagi
peneliti selanjutnya
Penelitian ini dapat digunakan
sebagai data dasar dan acuhan penelitian yang akan datang.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam
bab ini akan dibahas tentang teori sebagai landasan dalam penelitian meliputi
konsep kepatuhan, konsep terapi infus, konsep plebitis,
kerangka konsep dan hipotesis penelitian.
2.1
Konsep Dasar Kepatuhan
2.1.1
Pengertian
Kepatuhan adalah
derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya
(Kaplan dkk, 2002). Kepatuhan menurut Sacket
(2002) adalah sejauh
mana perilaku pasien melaksanakan cara pengobatan yang disarankan oleh tenaga
profesional kesehatan. Oleh Taylor (2000) kepatuhan atau ketaatan didefinisikan sebagai
usaha pasien untuk mengendalikan perilakunya.
Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa kepatuhan adalah
suatu perilaku pasien yang terpasang infus mematuhi yang
telah disarankan oleh petugas kesehatan seperti tidak banyak bergerak
pada daerah yang dipasang infus, mematikan infus saat ke kamar mandi,
mempetahankan aliran infus sesuai advis, mempertahankan posisi infus.
2.1.2
Faktor-faktor yang mendukung
kepatuhan pasien
Menurut (Niven, 2002), ada
beberapa faktor yang dapat mendukung sikap patuh pasien, diantaranya:
1. Pendidikan
Pendidikan
pasien dapat meningkatkan kepatuhan sepanjang pendidikan tersebut merupakan
pendidikan yang aktif, seperti penggunaan buku dan lain-lain.
2. Akomodasi
Suatu usaha
harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi
kepatuhan. Pasien yang lebih mandiri, harus dilibatkan secara aktif dalam
program pengobatan sementara pasien yang tingkat ansietasnya tinggi harus
diturunkan terlebih dahulu. Tingkat ansietas yang terlalu tinggi atau rendah,
akan membuat kepatuhan pasien berkurang.
3. Modifikasi faktor lingkungan dan social
Membangun
dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman sangat penting, kelompok
pendukung dapat dibentuk untuk membantu memahami kepatuhan terhadap program
pengobatan, seperti pengurangan berat badan dan lainnya.
4.
Perubahan
Model Terapi
Program
pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin dan pasien terlibat aktif dalam
pembuatan program tersebut.
5.
Meningkatkan
interaksi profesional kesehatan dengan pasien.
Adalah suatu
yang penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh
informasi diagnosis.
2.1.3
Pendekatan Praktis untuk
Meningkatkan Kepatuhan Pasien
Menurut (Niven, 2002), menyebutkan
ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kepatuhan
pasien, yaitu:
1) Buat
instruksi tertulis yang mudah diinterprestasikan.
2) Berikan
Informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal lain.
3)
Jika seseorang diberi suatu daftar tertulis tentang
hal-hal yang harus diingat maka akan ada
keunggulan yaitu mereka akan ada keunggulan dan berusaha mengingat hal yang
pertama ditulis. Efek keunggulan ini telah terbukti.
4)
Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum
(non- medis) dalam hal yang perlu ditekankan.
2.1.4
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan
1)
Pemahaman tentang instruksi
Tidak
seorangpun dapat mematuhi instruksi, jika ia salah paham tentang instruksi yang
diterima. (Niven, 2002), menemukan bahwa lebih dari
60% yang diwawancarai setelah bertemu dokter salah mengerti tentang instruksi
yang diberikan kepada mereka. Hal ini disebabkan kegagalan petugas kesehatan
dalam memberikan informasi yang lengkap dan banyaknya instruksi yang harus
diingat dan penggunaan istilah medis.
2)
Kualitas interaksi
Menurut
Korcsh dan Negrete (Niven, 2002), Kualitas
interkasi antara petugas kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting
dalam menentukan derajat kepatuhan. Ada beberapa keluhan, antara lain kurangnya
minat yang diperlihatkan oleh dokter, penggunaan istilah medis secara berlebihan,
kurangnya empati, tidak memperolah kejelasan mengenai penyakitnya. Pentingnya
keterampilan interpersonal dalam memacu kepatuhan terhadap pengobatan.
3)
Isolasi sosial dan keluarga
Keluarga
dapat menjadi faktor yang sangat mempengaruhi dalam menentukan keyakinan dan
nilai kesehatan individu serta dapat menentukan tentang program pengobatan yang
dapat mereka terima.
4)
Keyakinan, sikap dan kepribadian
Keyakinan
seseorang tentang kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan.
Orang-orang yang tidak patuh adalah orang yang mengalami depresi, ansietas
sangat memperhatikan kesehatannya, memiliki ego yang lebih lemah dan yang
kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada diri sendiri (Niven, 2002).
2.1.5
Derajat Ketidakpatuhan
Ditentukan Oleh Faktor
Derajat
ketidakpatuhan itu ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
1)
Kompleksitas prosedur pengobatan.
2)
Derajat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan.
3)
Lamanya waktu dimana pasien harus mematuhi program
tersebut.
4)
Apakah penyakit tersebut benar-benar menyakitkan.
5)
Apakah pengobatan itu berpotensi menyelamatkan hidup.
6)
Keparahan penyakit yang dipersepsikan sendiri oleh
pasien dan bukan petugas kesehatan (Neil Niven, 2002).
2.2
Terapi Infus
2.2.1
Pengertian
Terapi
intravena atau yang biasa disebut dengan terapi infus, merupakan metode yang
efektif untuk mensuplai cairan, elektrolit, nutrisi, obat melalui pembuluh
darah (intravaskular) (Wahit Iqbal Mubarak, 2008).
Terapi intravena adalah tindakan yang dilakukan dengan cara memasukkan
cairan, elektrolit, obat intravena dan nutrisi parenteral ke dalam tubuh
melalui intravena (Aryawitl,
2009).
Tindakan ini
merupakan metode efektif dan efisien dalam memberikan suplai cairan ke dalam
kompartemen intravaskuler. Terapi intravena dilakukan berdasarkan order dokter
dan perawat bertanggung jawab dalam pemeliharaan terapi yang dilakukan.
Pemilihan pemasangan terapi intravena didasarkan pada beberapa faktor,
yaitu tujuan dan lamanya terapi, diagnosa pasien, usia, riwayat kesehatan dan
kondisi vena pasien. Apabila pemberian terapi intravena dibutuhkan dan
diprogramkan oleh dokter, maka perawat harus mengidentifikasi larutan yang
benar, peralatan dan prosedur yang dibutuhkan serta mengatur dan
mempertahankan sistem.
2.2.2
Tujuan
Tujuan utama pemberian terapi intravena
adalah :
1)
Mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang
mengandung air, elektrolit, vitamin,
protein, lemak dan kalori yang tidak dapat dipertahankan melalui oral.
2)
Mengoreksi dan mencegah gangguan cairan dan
elektrolit.
3)
Memperbaiki keseimbangan asam basa.
4)
Memberikan tranfusi darah.
5)
Menyediakan medium untuk pemberian obat intravena.
6)
Membantu pemberian nutrisi parenteral.
2.2.3
Keuntungan
dan Kerugian Terapi Intravena
Keuntungan dan kerugian
terapi intravena adalah :
1)
Keuntungan
(1) Efek terapeutik segera dapat tercapai karena penghantaran
obat ke tempat target berlangsung cepat.
(2) Absorsi total memungkinkan dosis obat lebih
tepat dan terapi lebih dapat diandalkan.
(3) Kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga
efek terapeutik dapat dipertahankan maupun dimodifikasi.
(4) Rasa sakit dan iritasi obat-obat tertentu jika
diberikan intramuskular atau subkutan dapat dihindari.
(5) Sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi
dengan rute lain karena molekul
yang besar, iritasi atau
ketidakstabilan dalam traktus gastrointestinalis.
2)
Kerugian
(1) Tidak bisa dilakukan “Drug Recall” dan
mengubah aksi obat tersebut sehingga resiko toksisitas dan sensitivitas tinggi.
(2) Kontrol pemberian yang tidak baik bisa
menyebabkan “Speeed Shock”
(3) Komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu:
1) Kontaminasi mikroba melalui titik akses ke
sirkulasi dalam periode tertentu.
2) Iritasi Vaskular, misalnya phlebitis kimia.
3) Inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai
obat tambahan.
2.2.4
Indikasi
Menurut
(Wahit Iqbal Mubarak, 2008), terapi intravena diberikan pada pasien antara lain :
1)
Keadaan emergency (misal pada tindakan RJP), yang
memungkinkan pemberian obat langsung ke dalam intra vena.
2)
Keadaan ingin mendapatkan respon yang cepat terhadap
pemberian obat.
3)
Klien yang mendapat terapi obat dalam dosis besar
secara terus-menerus melalui intra vena.
4)
Klien yang mendapat terapi obat yang tidak bisa
diberikan melalui oral atau intramuskuler.
5)
Klien yang membutuhkan koreksi/pencegahan gangguan
cairan dan elektrolit.
6)
Klien yang sakit akut atau kronis yang membutuhkan
terapi cairan.
7)
Klien yang
mendapatkan tranfusi darah.
8)
Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum
prosedur (misalnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur
infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok.
9)
Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak
stabil, misalnya risiko dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam
nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat
dipasang jalur infus.
2.2.5
Kontra Indikasi
Menurut
Aryawitl (2009), infus dikontraindikasikan pada daerah:
1)
Daerah yang memiliki
tanda-tanda infeksi, infiltrasi atau trombosis.
2)
Daerah yang berwarna merah,
kenyal, bengkak dan hangat saat disentuh.
3)
Vena di bawah infiltrasi
vena sebelumnya atau di bawah area plebitis.
4)
Vena yang sklerotik atau
bertrombus.
5)
Lengan dengan pirai arteriovena
atau fistula.
6)
Lengan yang mengalami edema,
infeksi, bekuan darah, atau kerusakan kulit.
7)
Lengan pada sisi yang
mengalami mastektomi (aliran balik vena terganggu).
8)
Lengan yang mengalami luka
bakar.
2.2.6
Jenis Cairan Intravena
Menurut (Wahit
Iqbal Mubarak 2008), jenis cairan
intravena yang biasa digunakan meliputi :
1)
Larutan nutrien
Larutan ini berisi beberapa jenis karbohidrat (dekstrosa
dan glukosa) dan air. Larutan nutrien yang umum digunakan adalah adalah 5 %
dekstrosa dalam air (D5W), 3,3 % glukosa dalam 0,3 % NaCL, dan 5 %
glukosa dalam 0,45 % NaCL. Setiap 1 liter cairan Dextrose 5 % mengandung
170-200 kalori; mengandung asam amino (Amigen, Anunosol, Travamin) atau lemak
(Lipomul dan Lyposyn).
2)
Larutan elektrolit
Larutan elektrolit meliputi larutan salin, baik isotonik,
hipotonik, maupun hipertonik. Jenis larut elektrolit yang paling banyak
digunakan adalah normal salin (isotonik),
yaitu NaCL 0,9 %. Contoh larutan elektrolit lainnya adalah laktat ringer (Na+,
K+, Cl-, Ca2+) dan cairan butler (Na+,
K+, Mg2+, Cl-, HCO3).
3)
Cairan asam-basa
Jenis cairan yang termasuk cairan asam-basa adalah
natrium laktat dan natrium bikarbonat. Laktat merupakan sejenis garam yang
dapat mengikat ion H+ dari cairan sehingga mengurangi keasaman
lingkungan.
4)
Volume ekspander
Jenis larutan ini berfungsi meningkatkan volume pembuluh
darah atau plasma, misalnya pada kasus hemoragi atau kombustio berat. Volume
ekspander yang umum digunakan antara lain dekstran, plasma, dan albumin serum.
Cara kerjanya adalah dengan meningkatkan tekanan osmotik darah.
2.2.7
Penentuan Area Infus
Secara umum, penginfusan dapat dilakukan pada vena lengan
(vena sefalika, basilika, dan mediana kubiti), vena tungkai (Vena safena), atau
vena di daerah kepala (vena temporalis frontalis). Pada individu dewasa, infus
biasanya dipasang di daerah lengan atas, tangan , dan kaki. Sedangkan pada
bayi, infus dipasang pada daerah kepala. Untuk penginfusan jangka panjang,
pembuluh darah yang sebaiknya digunakan pertama kali adalah pembuluh darah
distal. Ini dilakukan untuk mengantisipasi kegagalan saat melakukan penusukan
vena. Jika pembuluh darah distal rusak akibat penusukan pertama, pembuluh darah
proksimal dapat digunakan untuk penusukan berikutnya. Akan tetapi, jika
pembuluh darah proksimal telah rusak,
penusukan tidak bisa dialihkan ke pembuluh darah distal (Wahit Iqbal Mubarak,
2008).
2.2.8
Kriteria
Pemilihan Pembuluh Darah Vena
1) Gunakan cabang vena distal (vena
bagian proksimal yang berukuran lebih besar akan bermanfaat untuk keadaan darurat).
2) Hindari daerah penonjolan tulang.
3) Hindarkan pemasangan selang intravena
di pergelangan tangan klien, di daerah yang mengalami peradangan, diruang
antecubital, di ekstremitas yang sensasinya menurun, atau ditangan yang
dominan.
4) Pilihan vena :
(1) Vena metacarpal (memudahkan
pergerakan tangan).
(2) Vena sevalika atau basilica.
(3) Vena
fossa antecubital, mediana
basilica atau sevalika
untuk pemasangan infuse yang
singkat saja.
5)
Pada
klien dewasa, vena yang terdapat pada
ekstermitas begian bawah hanya digunakan sebagai pilihan terakhir (Nurachmah,
2003).
2.2.9
Cara
Mencari Vena
1) Apabila memungkinkan,
letakkan ektremitas pada
posisi dependen (dalam keadaan di topang sesuatu).
2) Pasang turniket 10-12 cm diatas
tempat insersi. Turniket harus menghambat aliran vena, bukan aliran arteri,
periksa denyut distal.
3) Pilih vena yang berdilatasi dengan
baik. Metode untuk membuat vena berdilatasi adalah dengan memukul-mukul vena
dari arah proksimal ke distal, atau meminta pasien mengepalkan dan membuka
tangan, atau dengan melakukan ketukan ringan diatas vena, atau dengan memberi
kompres hangat. (Perry & Potter, 2005).
2.2.10 Komplikasi
Menurut (Aryawitl 2009), komplikasi akibat
pemasangan infus sebagai berikut :
1)
Komplikasi lokal
(1)
Plebitis
Inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun
mekanik. Kondisi ini dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang memerah dan
hangat di sekitar daerah insersi/penusukan atau sepanjang vena, nyeri atau rasa
lunak pada area insersi atau sepanjang vena, dan pembengkakan.
(2)
Infiltrasi
Infiltrasi terjadi ketika cairan intravena
memasuki ruang subkutan di sekeliling tempat pungsi vena.
Infiltrasi ditunjukkan dengan adanya pembengkakan (akibat peningkatan cairan di
jaringan), palor (disebabkan oleh sirkulasi yang menurun) di sekitar area
insersi, ketidaknyamanan dan penurunan kecepatan aliran secara nyata.
Infiltrasi mudah dikenali jika tempat penusukan lebih besar daripada tempat
yang sama di ekstremitas yang berlawanan. Suatu cara yang lebih dipercaya untuk
memastikan infiltrasi adalah dengan memasang torniket di atas atau di daerah
proksimal dari tempat pemasangan infus dan mengencangkan torniket tersebut
secukupnya untuk menghentikan aliran vena. Jika infus tetap menetes meskipun
ada obstruksi vena, berarti terjadi infiltrasi.
(3)
Iritasi vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri selama diinfus,
kemerahan pada kulit di atas area insersi. Iritasi vena bisa terjadi karena
cairan dengan pH tinggi, pH rendah atau osmolaritas yang tinggi (misal:
phenytoin, vancomycin, eritromycin, dan nafcillin)
(4)
Hematoma
Hematoma terjadi sebagai akibat kebocoran darah ke
jaringan di sekitar area insersi. Hal ini disebabkan oleh pecahnya dinding vena
yang berlawanan selama penusukan vena, jarum keluar vena, dan tekanan yang
tidak sesuai yang diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau kateter
dilepaskan. Tanda dan gejala hematoma yaitu ekimosis, pembengkakan segera pada
tempat penusukan, dan kebocoran darah pada tempat penusukan.
(5)
TromboPlebitis
TromboPlebitis menggambarkan adanya bekuan ditambah
peradangan dalam vena. Karakteristik tromboPlebitis adalah adanya nyeri yang
terlokalisasi, kemerahan, rasa hangat, dan pembengkakan di sekitar area insersi
atau sepanjang vena, imobilisasi ekstremitas karena adanya rasa tidak nyaman
dan pembengkakan, kecepatan aliran yang tersendat, demam, malaise, dan
leukositosis.
(6)
Trombosis
Trombosis ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak pada
vena, dan aliran infus berhenti. Trombosis disebabkan oleh injuri sel endotel
dinding vena, pelekatan platelet.
(7)
Occlusion
Occlusion ditandai dengan tidak adanya penambahan aliran
ketika botol dinaikkan, aliran balik darah di selang infus, dan tidak nyaman
pada area pemasangan/insersi. Occlusion disebabkan oleh gangguan aliran IV,
aliran balik darah ketika pasien berjalan, dan selang diklem terlalu lama.
(8)
Spasme vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri sepanjang vena, kulit
pucat di sekitar vena, aliran berhenti meskipun klem sudah dibuka maksimal.
Spasme vena bisa disebabkan oleh pemberian darah atau cairan yang dingin,
iritasi vena oleh obat atau cairan yang mudah mengiritasi vena dan aliran yang
terlalu cepat.
(9)
Reaksi vasovagal
Kondisi ini digambarkan dengan klien tiba-tiba terjadi
kollaps pada vena, dingin, berkeringat, pingsan, pusing, mual dan penurunan
tekanan darah.. Reaksi vasovagal bisa disebabkan oleh nyeri atau kecemasan.
(10)
Kerusakan syaraf, tendon dan
ligament
Kondisi ini ditandai oleh nyeri ekstrem, kebas/mati rasa,
dan kontraksi otot. Efek lambat yang bisa muncul adalah paralysis, mati rasa
dan deformitas. Kondisi ini disebabkan oleh tehnik pemasangan yang tidak tepat
sehingga menimbulkan injuri di sekitar syaraf, tendon dan ligament.
1)
Komplikasi sistemik
(1)
Septikemia
Adanya susbtansi pirogenik baik dalam larutan infus atau
alat pemberian dapat mencetuskan reaksi demam dan septikemia. Perawat dapat
melihat kenaikan suhu tubuh secara mendadak segera setelah infus dimulai, sakit
punggung, sakit kepala, peningkatan nadi dan frekuensi pernafasan, mual dan
muntah, diare, demam dan menggigil, malaise umum, dan jika parah bisa terjadi
kollaps vaskuler. Penyebab septikemi adalah kontaminasi pada produk IV,
kelalaian tehnik aseptik. Septikemi terutama terjadi pada klien yang mengalami
penurunan imun.
(2)
Reaksi alergi
Kondisi ini ditandai dengan gatal, hidung dan mata
berair, bronkospasme, wheezing, urtikaria, edema pada area insersi, reaksi
anafilaktik (kemerahan, cemas, dingin, gatal, palpitasi, paresthesia, wheezing,
kejang dan kardiak arrest). Kondisi ini bisa disebabkan oleh allergen, misal
karena medikasi.
(3)
Overload sirkulasi
Membebani sistem sirkulasi dengan cairan intravena yang
berlebihan akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan tekanan vena sentral,
dipsnea berat, dan sianosis. Tanda dan gejala tambahan termasuk batuk dan
kelopak mata yang membengkak. Penyebab yang mungkin termasuk adalah infus
larutan IV yang terlalu cepat atau penyakit hati, jantung dan ginjal. Hal ini
juga mungkin bisa terjadi pada pasien dengan gangguan jantung yang disebut
denga kelebihan beban sirkulasi.
(4)
Embolisme udara
Emboli udara paling sering berkaitan dengan kanulasi
vena-vena sentral. Manifestasi klinis emboli udara adalah dipsnea dan sianosis,
hipotensi, nadi yang lemah dan cepat, hilangnya kesadaran, nyeri dada, bahu,
dan punggung bawah.
2.2.11
Prosedur
Pemasangan Infus
Menurut (Eni Kusyati 2006), prosedur
pemasangan terapi intravena
adalah sebagai berikut :
I. Persiapan Alat
1)
Jarum
atau cateter untuk fungsi vena yang sesuai.
2)
Untuk
infuse cairan intra vena :
(1)
Perangkat
pemberian intra vena (pilihan bergantung pada tipe larutan dan kecepatan
pemberian : bayi dan anak kecil memerlukan slang microdrip dengan tetesan 60
tetes /menit).
(2)
Filter
0,22 mm (jika diperlukan sesuatu kebijakan institusi atau jika bahan
berpartikel akan diberikan).
(3)
Tambahan
selang (digunakan
jika diperlukan jalur intra vena lebih panjang).
3)
Untuk
Heparin lock :
(1)
Stiker
intra vena. (2) Loop intra vena atau selang pendek (jika perlu). (3) Spuit. (4) Tourniquet. (5) Sarung tangan disposibel. (6) Kassa ukuran 2x2 cm dan kemicetyn
salp, lalu tutup dengan balutan transparan. (7) Plester yang telah dipotong dan siap
digunakan. (8) Pengalas untuk diletakkan dibawah lengan pasien. (9) Tiang infuse. (10) Pakaian khusus dengan kancing
dilapisan bahu (mempermudah pelepasan selang inta vena) jika tersedia.
II. Prosedur Pelaksanaan :
1)
Cuci
tangan.
2)
Atur
peralatan disamping tempat tidur pasien.
3)
Buka
kemasan steril dengan menggunakan teknik aseptic.
4)
Untuk
pemberian cairan intra vena:
(1)
Periksa
larutan, menggunakan ”5 benar” pemberian obat.Pastikan aditif yang diresepkan
seperti kalium dan vitamin telah ditambahkan.Periksa larutan terhadap
warna,kejernihan,dan tanggal kadaluarsa.
(2)
Jika
memggunakan intra vena dalam botol, lepaskan logam dan lempeng karet dan logam
dibawah penutup. Untuk kantong larutan intra vena plastic, lepaskan plastic
diatas port selang intra vena.
(3)
Buka
set infuse, dan pertahankan sterilisasi pada kedua ujung.
(4)
Pasang
klem rol 2-4 (1-2 inci) dibawah bilik drip dan pindahkan klem rol pada posisi off.
5) Tusuk set infuse kedalam kantong atau
botol cairan :
(1)
Lepaskan
penutup pelindung kantong intra vena tanpa menyentuh lubangnya.
(2)
Lepaskan
penutup pelindung dari jarum penusuk dan tusuk penusuk ke penyumbat dengan
antiseptic sebelum menusukan jarum penusuk.
6)
Isi
slang infus :
(1)
Tekan
bilik drip dan lepaskan, biarkan terisi.
(2)
Lepaskan
pelindung jarukm dan klem rol untuk memungkinkan cairan memenuhi bilik drip
memulai slang ke adaptor jarum.kembalikan klem rol keposisi off setelah slang
terisi.
(3)
Pastikan
slang bebas dari udara dan gelembung udara.
(4)
Lepaskan
pelindung jarum.
(5)
Untuk
heparin lock.
(6)
Pilih
jarum intra vena yang tepat atau Over the Needle Catheter (ONC).
(7)
Pilih
tempat distal vena yang digunakan.
(8)
Jika
terdapat banyak rambut pada tempat penusukan bersihkan terlebih dahulu.
(9)
Jika
mungkin, letakkan extremitas pada posisi dependent.
(10)
Letakkan
tourniquet 10-12 cm (5-6 inci) diatas tempat penusuk. Torniquet harus menyumbat
aliran vena, bukan
arteri. Periksa adanya nadi
distal.
(11)
Kenakan
sarung tangan diposible,
pelindung mata dan
masker dapat digunakan untuk mencegah darah terkena pada membrane mucosa
perawat.
(12)
Letakkan ujung
adaptor jarum, perangkat
infuse dekat dengan kassa steril atau handuk.
(13)
Pilih
vena yang berdilatasi tinggi.
(14)
Bersihkan
tempat insersi dengan gerakan sirkuler yang kuat menggunakan larutan
alcohol, hindari menyentuh
tempat yang telah dibersihkan,
biarkan tempat tersebut mengering selama 30 detik.
(15)
Lakukan
fungsi vena. Tahan vena dengan meletakkan ibu jari diatas vena dan dengan
meregangkan kulit berlawanan arah dengan arah penusukan 5-7,5 cm ke arah distal
tempat penusukan. Jarum kupu- kupu pegang jarum pada sudut 20-30° dengan bevel
ke arah atas sedikit kearah distal terhadap tempat actual fungsi vena.
(16)
Perhatikan
keluarnya darah melalui selang jarum kupu-kupu atau bilik fleshback (over the
needle catheter) ONC, yang menandakan jarum telah memasuki vena. Turunkan jarum
sampai hampir menyentuh kulit. Dorong jarum kupu-kupu sampai hubungan menempel
dengan tempat fungsi vena. Dorong catheter ONC 0,06 cm ke dalam vena, lalu
lepaskan stiletnya. Dorong cateter kedalam vena sampai hubungan menempel dengan
tempat fungsi vena. Jangan pernah memasukkan kembali stilet setalah
melepaskannya.
(17)
Tahan
catheter dengan satu tangan, lepaskan tourniquet dan lepas stilet dari ONC.
Jangan menutup kembali stilet. Dengan cepat hubungkan adaptor jarum
dari perangkat pemberian heparin lock ke hubungan ONC atau slang kupu-kupu. Jangan
pernah menyentuh tempat masuk adaptor jarum.
(18)
Lepaskan
klem rol untuk memulai infuse pada kecepatan untuk mempertahankan potensi
aliran intra vena (tidak diperlukan pada heparin lock).
(19)
Amankan
catheter atau jarum intra vena (prosedur dapat berbeda, sesuai kebijakan
institusi).
(20)
Untuk
pemberian intra vena, atur kecepatan aliran sampai tetesan yang tepat per
menit.
(21)
Tuliskan
waktu dan tanggal pemasangan aliran serta ukuran jarum pada balutan.
(22)
Lepaskan
sarung tangan, rapihkan alat dan cuci tangan. (23) Dokumentasikan dan kaji respon pasien.
2.3 Konsep Plebitis
2.3.1
Pengertian
Plebitis
didefeniskan sebagai inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi mekanik,
kimia, dan bacteri, Plebitis dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang
memerah dan hangat di sekitar pemasangan intravena atau sepanjang vena, nyeri
dan pembengkakan (Hankins, Lonsway, Hedrick, & Perdue, 2004).
Insiden Plebitis meningkat sesuai
dengan lamanya pemasangan jalur intravena, komposisi cairan atau obat yang di
injeksi (terutama pH dan tonisitasnya), ukuran kanul dan tempat pemasangan
jalur intravena yang tidak sesuai dan masuknya mikroorganisme saat penusukan (Brunnert & Suddart, 2002).
Kenaikan suhu tubuh pada pasien yang
mengalami Plebitis tidak terlalu signifikan dan hanya mengalami kenaikan
sedikit (sub febris) yaitu antara suhu 37,5°C-38,5°C. Suhu normal tubuh manusi adalah 36,5°C-37°C
(Doenges, Moorhouse, Gleissler, 2003).
2.3.2
Patofisiologi
Di
dalam proses pembentukan plebitis terjadi peningkatan permeabilitas kapiler,
dimana protein dan cairan masuk kedalam ruangan intertisial. Selanjutnya
jaringan yang mengalami trauma teriritasi secara mekanik, kimia, bacteri.
System imun yang menyebabkan leucosit
berkumpul pada bagian yang terinflamasi. Saat leucosit dilepaskan, pirogen juga
merangsang sum-sum untuk melepaskan leucosit dalam jumlah besar. Kemerahan dan
ketegangan meningkat pada setiap tahap Plebitis (Masiyati, 2004).
2.3.3
Penyebab
Plebitis
adalah komplikasi local dari pemasangan intravena yang disebabkan oleh beberapa
factor baik mekanik, kimia, maupun bacteri dan umumnya Plebitis terjadi pada
hari ke 2-3 pasca pemasangan intravena.
Secara garis besar penyebab Plebitis
dibagi menjadi 3 yaitu :
1)
Faktor Mekanik
Febitis
mekanik di hubungkan dengan lokasi pemasangan kanul intravena, hal ini
disebabkan karena adanya perbedaan dari vena-vena dari lokasi yang berbeda pada
extremitas, ukuran besar lumen dari vena tempat pemasangan intravena,
elastisitas vena, locasi
vena itu sendiri
cenderung mempengaruhi terjadinya Plebitis. Kanul yang berukuran besar jika
digunakan pada vena yang berlumen kecil dapat mengiritasi bagian intima dari
vena, disamping itu fixasi yang kurang
tepat dapat menyebabkan inflamasi atau plebitis.
Contoh
alat infus abbocath (ONC/Over The Needle Canulla), bertujuan untuk terapi
jangka panjang dan pasien yang agitasi atau pasien yang aktif. Manfaatnya :
lebih nyaman bagi klien, ada tempat mengecek aliran darah balik, kerusakan pada
vena sedikit. Adapun kerugiannya : lebih sulit dimasukkan kedalam pembuluh
darah vena.
Contoh
alat infus Through The Neddle Canulla (venflon), bertujuan untuk terapi jangka
panjang dan pasien yang agitasi atau pasien yang
aktif. Manfaatnya : kerusakan vena lebih kecil, lebih nyaman bagi klien
dan tersedia dalam berbagai ukuran panjang. Adapun kerugiannya yaitu biasanya
untuk lansia menimbulkan kebocoran.
2)
Faktor Kimia
Dihubungkan dengan respon dari bagian intravena terhadap zat-zat kimia dalam terapi intra
vena.
1)
pH
dan osmolaritas cairan infus yang ekstrem selalu diikuti risiko Plebitis tinggi. pH
larutan dekstrosa berkisar
antara 3 –
5, di mana
keasaman diperlukan untuk mencegah karamelisasi dekstrosa selama proses
sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino dan
lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral bersifat lebih flebitogenik
dibandingkan normal saline. Obat suntik yang bisa menyebabkan peradangan vena
yang hebat, antara lain kalium klorida, vancomycin, amphotrecin B,
cephalosporins, diazepam, midazolam dan banyak obat khemoterapi. Larutan infus
dengan osmolaritas > 900 mOsm/L harus diberikan melalui vena sentral.
2)
Mikropartikel
yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna selama pencampuran juga
merupakan faktor kontribusi terhadap Plebitis. Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau
lengan bawah) sangat dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas > 500
mOsm/L. Hindarkan vena pada punggung tangan jika mungkin, terutama pada pasien
usia lanjut.
3)
Kateter yang
terbuat dari silikon
dan poliuretan kurang
bersifat iritasi dibanding
politetrafluoroetilen (teflon) karena permukaan lebih halus, lebih
thermoplastik dan lentur. Risiko tertinggi untuk Plebitis dimiliki kateter yang
terbuat dari polintra venainil klorida atau polietilen.
3) Faktor Bacteri
Faktor-faktor yang berkontribusi
terhadap plebitis
bakteri meliputi :
(1)
Teknik
pencucian tangan yang buruk.
(2)
Kegagalan
memeriksa peralatan yang rusak. Pembungkus yang bocor atau robek mengundang bakteri.
(3)
Teknik
aseptik tidak baik.
(4)
Teknik
pemasangan kanula yang buruk.
(5)
Kanula
dipasang terlalu lama.
(6)
Tempat
suntik jarang di inspeksi visual (Hankins, Hedrick, Perdue, 2004).
Tindakan
aseptik merupakan tindakan preventif yang mutlak perlu dilaksanakan melalui
serangkaian prinsip dan praktek yang bertujuan untuk menurunkan atau
menghambat kemungkinan terjadinyainfeksi dengan
menggunakan antiseptic.
4)
Faktor
Host
(1)
Umur
Umur adalah lama waktu hidup atau ada
(sejak dilahirkan atau diadakan) yang dihitung sampai dengan ulang tahun
terakhir (Depdikbud, 2002). Umur berkaitan erat dengan pertumbuhan dan perkembangan fisologis
jaringan dan seluruh sistem pada tubuh manusia.
(2)
Jenis
Kelamin
Jenis
kelamin adalah suatu ciri atau identitas yang dapat digunakan untuk
membedakan responden satu dengan yang
lainnya yakni laki-laki dan perempuan berdasarkan anatomi tubuh yang dimiliki (Sunita, 2003).
(3) Kepatuhan
Pasien
Kepatuhan atau
ketaatan sebagai tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan atau perilaku yang
disarankan oleh dokter atau orang lain (Smet, 2004).
2.3.4
Tanda
dan Gejala
Tanda infeksi
pada umumnya yaitu
rubor (kemerahan), tumor (pembengkakan), color (panas), dolor
(nyeri) dan fungsi laesa. Adapun tanda dan gejala Plebitis yaitu nyeri,
kekakuan vena, eritema, bengkak, hangat dan panas pada lokasi peradangan
(Hanskins, Lonsway, Hedrick, Perdue, 2004).
2.3.5
Skala
Plebitis
Hanskins,
Lonsway, Hendrick, & Perdue, (2004), membagi Plebitis berdasakan skalanya
yaitu :
1)
Skala
0 bila tidak ada gejala.
2)
Skala 1 bila eritema dengan atau tanpa
adanya nyeri.
3)
Skala
2 bila bila ada nyeri, eritema, dan edema.
4)
Skala
3 bila nyeri, eritema,streak formation, dan teraba garis vena
± 1 inchi.
5)
Skala 4 bila nyeri, eritema, streak formasi
teraba garis vena > 1 inchi, dan adanya cairan purulen.
2.4 Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya
adalah kerangka antara konsep-konsep yang ingin diamati dan diukur melalui
penelitian-penelitian yang akan dilakukan (Soekidjo Notoatmodjo,2002).
Kerangka konsep dalam penelitian ini
dapat di sebutkan sebagai berikut :
Faktor Bakteri :
·
Tehnik
aseptik
|
Faktor Mekanik :
·
Lokasi pemasangan
·
Material dan ukuran kanul
·
Fiksasi
|
Faktor Kimiawi :
·
pH
·
Osmolaritas
|
Kejadian
plebitis pada pasien yang terpasang infus
|
Terjadi Plebitis
|
Tidak Terjadi Plebitis
|
1) Pendidikan.
2) Akomodasi.
3) Modifikasi faktor Lingkungan.
4) Perubahan model terapi.
5) Meningkatkan interaksi Profesional
kesehatan dengan pasien.
|
Faktor Lain :
·
Faktor host (kepatuhan pasien)
|
Keterangan :
:
Diteliti
:
Tidak diteliti
Gambar 2.1 Kerangka konseptual hubungan
kepatuhan pasien yang terpasang infus dengan
kejadian Plebitis di ruang teratai dan bougenville
RSUD Dr. Soegiri Lamongan 2012.
Kejadian
plebitis dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor mekanik lokasi
pemasangan, material dan ukuran kanul. faktor
kimiawi, ph, osmolaritas. faktor bakteri , tehnik aseptik. faktor lain, faktor
host (kepatuhan pasien).
2.5 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara penelitian, patokan
duga atau dalih sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian
tersebut (Notoatmodjo S, 2002). Hipotesis pada penelitian ini adalah H1 : Ada
hubungan antara
kepatuhan pasien yang terpasang infus dengan kejadian plebitis di ruang
Teratai dan Bogenville RSUD Dr. Soegiri Lamongan tahun 2012.
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini akan dibahas mengenai :
desain penelitian, waktu dan tempat penelitian, kerangka kerja penelitian,
identifikasi varibel, definisi operasional, pengumpulan dan analisa data, serta
etika penelitian.
3.1
Desain Penelitian
Desain Penelitian adalah strategi
untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan dan berperan sebagai
pedoman atau penuntun penelitian pada seluruh proses penelitian (Nursalam,
2008).
Berdasarkan tujuan penelitian desain
dalam penelitian yang digunakan adalah analitik
korelasi dengan pendekatan cross
sectional. Studi korelasi analitik adalah suatu penelitian yang
menghubungkan antara dua variabel pada suatu situasi atau sekelompok subyek.
Penelitian cross sectional adalah jenis penelitian yang menekankan pada waktu
pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali
saja (Nursalam, 2008).
3.2 Waktu dan Tempat
Penelitian
Waktu penelitian
dimulai dari pengambilan data survei
awal pada bulan November 2011 dan pengambilan data untuk penelitian dilakukan
selama dua bulan pada bulan
Pebruari-Maret 2012 di ruang
teratai dan bogenville RSUD Dr.
Soegiri Lamongan.
3.3 Kerangka Kerja
Populasi: Seluruh pasien yang terpasang infus di ruang
teratai,bogenville di RSUD
dr. Soegiri Lamongan pada bulan Pebruari-Maret
tahun 2012.
|
Sampling : Simple Random Sampling
|
Sampel: Sebagian pasien yang terpasang infus di ruang
teratai,bogenville yang memenuhi criteria inklusi di RSUD dr. Soegiri Lamongan pada bulan Pebruari-Maret tahun 2012.
|
Desain analitik dengan pendekatan
cross sectional
|
Variabel Independent:
Kepatuhan pasien yang terpasang infus
|
Variabel Dependent:
Kejadian plebitis pada pasien yang terpasang infus
|
Pengumpulan Data : kuesioner
|
Pengolahan dan Analisis Data : Editing, Coding,Tabulating, Scoring,
Uji chi-square.
|
Penyajian Hasil
|
Penarikan Kesimpulan
|
Pengumpulan Data : Observasi
|
Gambar 3.1 Kerangka Kerja Penelitian Hubungan Kepatuhan Pasien
Yang Terpasang Infus Dengan Kejadian Plebitis Di Ruang Teratai Dan Bogenville RSUD Dr. Soegiri Lamongan
tahun 2012.
3.4 Populasi, Sampel dan Sampling
3.4.1
Populasi
Populasi adalah setiap subjek yang
mengetahui kriteria yang ditetapkan (Nur Salam, 2003). Pada penelitian ini
populasinya adalah seluruh pasien yang terpasang infus di ruang
teratai dan bogenville RSUD dr. Soegiri Lamongan yaitu sebesar 48 pasien.
3.4.2
Sampel
Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap
mewakili seluruh objek populasi (Nursalam, 2003). Sampel
penelitian ini sebagian
pasien yang terpasang infus
di ruang teratai,bogenville RSUD dr. Soegiri Lamongan.
3.4.2.1 Kriteria Sampel
1)
Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik
yang dapat dirumuskan atau layak untuk diteliti (Nur Salam, 2003). Adapun
kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:
(1) Pasien yang telah di pasang infus
selama 3 hari.
(2) Bersedia menjadi responden dan menandatangani lembar
persetujuan.
3.4.3
Sampling
Teknik sampling merupakan suatu proses seleksi sampel
yang digunakan dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel
akan mewakili keseluruhan populasi yang ada (Hidayat, 2007). Teknik sampling
yang dipakai dalam penelitian ini adalah probabality
sampling dimana setiap subjek dalam
populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih atau tidak terpilih
sebagai sampel. Pengambilan sampel dengan simpel random sampling atau acak sederhana dimana pengambilan sampel dengan cara acak tanpa
memperhatikan strata yang ada dalam populasi homogen (Hidayat, 2007).
3.5 Identifikasi Variabel
3.5.1
Definisi Variabel
Variabel adalah perilaku atau
karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu (benda, manusia, dan
lain- lain). Ciri yang dimiliki oleh anggota suatu kelompok (orang, benda,
situasi) berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok tersebut. Dalam riset,
variabel dikarakteristikan sebagai derajat, jumlah dan perbedaan. Variabel juga
merupakan konsep dari berbagailevel abstrak yang didefinisikan sebagai suatu
fasilitas untuk pengukuran dan atau manipulasi suatu penelitian (Nursalam.
2008).
3.5.2
Variabel Independen (bebas)
Variabel independen adalah Variabel yang nilainya
menentukan variabel lain. Suatu kegiatan stimulus yang dimanipulasi oleh
peneliti menciptakan suatu dampak pada variabel dependen. Variabel bebas
biasanya dimanipulasi dan diukur untuk diketahui hubunganya atau pengaruhnya
terhadap variabel lain (Nursalam, 2003). Dalam penelitian ini yang merupakan variabel independen
adalah kepatuhan pasien yang terpasang infus.
3.5.3
Variabel Dependen (terikat)
Variabel dependen adalah variabel yang nilainya
ditentukan oleh variabel lain. Variabel ini dapat diamati dan diukur untuk
menentukan ada tidaknya hubungan atau pengaruh dari variabel bebas (Nursalam,
2003). Dalam
penelitian ini yang termasuk variabel dependen adalah kejadian plebitis pada pasien yang terpasang infus.
3.6 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah
mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan karakteristik yang
diamati, memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara
cermat terhadap suatu obyek atau fenomena (A. Aziz Alimul Hidayat. 2007).
Tabel 3.1 Definisi Operasional Hubungan Kepatuhan Pasien Yang Terpasang
Infus Dengan Kejadian Plebitis Di ruang teratai,bogenville Di RSUD dr. Soegiri Lamongan
tahun 2012.
Variabel
|
Definisi
Operasional
|
Indikator
|
Alat Ukur
|
Skala Data
|
Skor &
Kategori
|
Variabel Independen:
Kepatuhan pasien yang terpasang infus.
|
Ketaatan pasien setelah dilakukan pemasangan infus.
|
Pasien
mampu melaksanakan heath education yang diberikan petugas kesehatan
1. Tdak banyak
bergerak pada area yang terpasang infus.
2. Mematikan infus
saat ke kamar mandi.
3. Mempertahankan aliran infus sesuai dengan advis.
4. Mempertahankan posisi infus.
|
Kuisioner
tertutup
|
Nominal
|
Benar : 1
Salah : 0
Dengan kriteria :
-
Patuh, jika mendapat skor > mean.
-
Tidak patuh, jika mendapat skor < mean.
|
Variabel
|
Definisi Operasional
|
Indikator
|
Alat Ukur
|
Skala Data
|
Skor & Kategori
|
Variabel
Dependen:
Kejadian
plebitis pada pasien yang terpasang infus
|
Terjadinya
tanda-tanda plebitis di daerah yang terpasang infus
|
Tanda-tanda plebitis (Hanskins, Lonsway, Hedrick, Perdue, 2004):
nyeri, kekakuan vena, eritema, bengkak, hangat dan panas
pada lokasi peradangan.
|
Lembar
Observasi
|
Nominal
|
1.
Terjadi plebitis = 1.
2.
Tidak terjadi plebitis = 0.
|
3.7
Teknik Pengumpulan Pengolahan
dan Analisa Data
3.7.1 Teknik Pengumpulan Data
Menurut Nursalam (2008), pengumpulan
data adalah suatu proses
pendekatan kepada subjek dan proses
pengumpulan karakteristik subjek
yang diperlukan dalam suatu penelitian.
Dalam penelitian ini melewati beberapa
tahapan, peneliti mengajukan surat permohonan untuk dapat membuat proposal
penelitian yang kemudian di berikan ijin untuk melakukan survei awal lewat
surat oleh Ketua Stikes Muhammadiyah Lamongan, kemudian peneliti melakukan
survei di RSUD dr. Soegiri Lamongan.
Setelah proposal penelitian disetujui,
dan izin Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Muhammadiyah Lamongan
keluar, peneliti melakukan pendekatan terhadap responden untuk mendapatkan
persetujuan tertulis dari responden untuk menjadi subjek penelitian.
Selanjutnya menjelaskan proses yang penelitian yang akan dilakukan. Proses
penelitian tersebut adalah pengukuran I melakukan observasi pada pasien yang
terpasang infus. Kemudian setelah semua sesi telah dilaksanakan responden akan
diberikan kuesioner mengenai plebitis untuk pengukuran peningkatan kepatuhan pasien yang terpasang infus.
3.7.2 Instrumen Penelitian
Menurut Suharsimi Arikunto (2006), instrumen penelitian adalah alat atau
fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar
pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat,
lengkap dan sistematis sehingga mudah diolah.
Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini untuk pengumpulan data adalah observasi kuesioner, menurut Hidayat,
A. A. A (2007). Untuk variabel
independen menggunakan kuesioner dengan 15 pertanyaan, untuk pertanyaan positif
jawaban ya :1 jawanban tidak :0, untuk pertanyaan negatif jawaban ya :0 jawaban
tidak :1. Sedangkan untuk variabel dependen dilakukan observasi/pengamatan
secara langsung.
3.7.3 Analisa Data
Menurut
Nursalam (2003), analisa data merupakan proses
penataan secara sistematis atau
transkrip wawancara, data hasil observasi, data dan daftar isian serta materi
lain untuk selanjutnya diberi makna,
baik makna secara tunggal maupun stimulant. Data yang terkumpul dari lembar
kuesioner yang telah diisi kemudian diolah dengan tahap sebagai berikut :
1)
Editing
Menurut Budiarto
(2001), editing adalah memeriksa data yang
telah dikumpulkan baik berupa daftar pertanyaan, kartu atau buku registrasi.
2)
Coding
Setiap responden diberi kode sesuai dengan nomor
urut. Untuk data variabel independent
kepatuhan pasien :
(1) Patuh,
jika mendapat skor > mean.
(2) Tidak
patuh, jika mendapat skor < mean.
Sedangkan variabel dependent kejadian
plebitis :
(1) Terjadi
jika, terdapat tanda-tanda plebitis diberi kode 1.
(2) Tidak
terjadi jika, tidak terdapat tanda-tanda plebitis diberi kode 0.
3)
Scoring
Pada kepatuhan pasien yang di pasang
infus bila jawaban “benar” diberi skor 1 dan bila
jawaban “salah” diberi skor 0. Sedangkan untuk kejadian plebitis di klasifikasikan
berdasarkan kriteria :
(1) Terjadi
plebitis bila memenuhi indikasi 1,2,3,4 dan 5 skor 1.
(2) Tidak
terjadi plebitis skor 0.
4)
Tabulating
Menurut Budiarto (2001), tabulasi merupakan
pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan mudah dapat dijumlah, disusun
untuk disajikan dan di analisis.
Mengelompokkan
data kedalam suatu tabel sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, kemudian
data yang sudah dikelompokkan dan sudah diprosentasikan dimasukkan kedalam
tabel distribusi frekuensi dan dianalisis sesuai dengan pendapat Suharsimi
Arikunto (2006). 100 % : semua atau seluruhnya, 76-99 : hampir seluruhnya, 51-75 % : lebih dari sebagian, 50 % : sebagian, 26-49 % : hampir sebagian, 1-25 % : sebagian kecil, 0 % :
tidak satupun.
5)
Uji
Chi Square
Analisis
Chi Square
merupakan analisis statistik non parametik, digunakan
untuk menguji apakah frekuensi data yang diamati dari
suatu variabel kategorik
sesuai dengan frekuensi harapan (Uyanto, 2009).
Rumus Chi-Square adalah sebagai berikut :
Keterangan :
X2 = Statistik X2
N = Jumlah sampel penelitian
AD = Jumlah Subjek yang mengalami
perubahan
BC = Jumlah subjek yang tidak
mengalami perubahan tetap
6)
Teknik Pengolahan Data
Untuk mengetahui
hubungan antar variabel, data yang terkumpul, disajikan dalam bentuk tabulasi
silang antara variabel independent
dengan variabel dependent,
selanjutnya diuji bantuan komputer dengan program Statistical Product And Service Solution (SPSS), dengan menggunakan uji Chi-square dengan tingkat kemaknaan a=0,05 artinya
bila nilai p<0,05, maka H1 diterima,
berarti terdapat hubungan antara kepatuhan pasien yang di pasang
infus dengan kejadian plebitis di RSUD dr. Soegiri Lamongan, sebaliknya
bila nilai p>0,05, maka H1
ditolak, berarti tidak ada hubungan antara kepatuhan pasien yang di pasang
infus dengan kejadian plebitis di RSUD dr. Soegiri Lamongan.
3.8
Etika Penelitian
Menurut
Nursalam (2003:81), penelitian apapun khususnya yang menggunakan manusia
sebagai subjek tidak boleh bertentangan dengan etika, oleh karena itu setiap
peneliti menggunakan subjek harus mendapatkan persetujuan dari subjek yang
diteliti dan institusi tempat penelitian.
3.8.1.
Lembar persetujuan (Informed Consent)
Saat pengambilan sample terlebih
dahulu peneliti meminta izin kepada setiap subjek yang akan diteliti baik
secara lisan maupun melalui lembar persetujuan atau kesediaanya dijadikan objek
penelitian.
3.8.2.
Tanpa nama (Anonimity)
Untuk menjaga kerahasiaan identitas objek
peneliti tidak akan mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data
atau kuesioner cukup dengan memberikan kode masing-masing lembar tersebut.
3.8.3.
Kerahasiaan (Confidentiality)
Kerahasiaan informasi yang
diberikan oleh objek dijamin oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu saja
akan disajikan atau dilaporkan sehingga rahasia tetap terjaga.
3.8.4
Berbuat baik (Benefince)
Dalam penelitian ini, peneliti menjaga
privacy responden yang tidak
menyenangkan hal-hal selain yang berkaitan dengan lingkup penelitian.